Ranggalawe adalah salah satu
pengikut Raden Wijaya yang berjasa dalam perjuangan mendirikan Kerajaan
Majapahit, namun meninggal sebagai “pemberontak” pertama dalam sejarah kerajaan
ini. Nama besarnya dikenang sebagai pahlawan oleh masyarakat Tuban, Jawa Timur,
sampai saat ini.
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridhlaanmu
menerima segala tiba
Tak
kutahu setinggi itu atas debu
dan
duka maha tuan bertahta
Di
atas panggung, beberapa kotak yang disembunyikan begitu saja di balik kain
hitam, Ranggalawe gugur. Tujuh bidadari tua mengelilingi tubuhnya yang tegak
berdiri -bahkan kematian tak mampu merubuhkannya. Mereka melempari tubuh yang
mematung itu dengan bunga. Hanya angin malam yang sanggup menyaksikannya. Angin
yang sejak 10 tahun yang lalu menggerakkan rombongan itu dari satu lapangan ke
lapangan yang lain. Dari satu kesepian menuju kesepian berikutnya. Dan malam
itu selesailah semuanya. Angin tak sanggup lagi menggerakkan mereka menuju
pemberhentian berikutnya. Lalu angin pelan-pelan mati. Dan tak mampu menggerakkan
dirinya sendiri.
”Malam
ini adalah pertunjukan terakhir kami. Tak ada lagi yang menginginkan kehadiran
kami. Tak ada lagi yang menyaksikan kami. Kami tak punya alasan lagi untuk
berlama-lama di sini.” Seseorang gendut berkaos hitam membuka acara. Di
belakangnya berjajar para aktor mengenakan kostumnya masing-masing. Wajah-wajah
yang tak bahagia telah disembunyikan sejak sore tadi di balik bedak.
Kakek-kakek di balik wajah Menak Jingga yang merah mencoba berdiri tegak.
Ranggalawe yang berdiri di sampingnya demikian pula. Sebentar lagi mereka akan
bertarung untuk terakhir kalinya.
Lalu
pertunjukan pun dimulai setelah beberapa orang naik ke panggung untuk
menyampaikan simpati -sejumlah puisi. Mereka berduka atas kematian dan tak bisa
berbuat apa-apa. Tapi siapa sesungguhnya yang harus bertanggung jawab atas
kematian ini? Malam itu tak sebagaimana biasanya, mereka meninggalkan tobongnya
-tobong yang sesungguhnya telah lama kosong. Kain-kain dekorasi mereka pasang
di beberapa penjuru, layar-layar yang sudah tak sanggup menggambarkan apa-apa.
Mereka telah lama kehilangan warna. Serupa bendera-bendera kematian. Gerbang
tobong juga mereka pasang sebagai penanda merekalah satu-satunya rombongan
ketoprak tobong yang tersisa.
Ratu
Kencana Wungu duduk di atas singgasananya. Kursi kayu bercat merah yang
terlambat dibawa masuk ke panggung. Kelihatan karena tak ada layar untuk
menutup pergantian. Semuanya diputuskan untuk dibuka malam itu. Termasuk
kegagalan mereka untuk bertahan sebagai seniman.
Kencana
Wungu lantas menembang menyapa yang datang. Patih Logender duduk di hadapannya,
manggut-manggut menerima kenyataan bahwa suara Kencana Wungu terlalu lirih
untuk sebuah pertunjukan di tengah lapang. Yang riuh rendah oleh suara
kendaraan dan pasangan-pasangan muda yang pacaran di atas sepeda panjang.
Rarasati si Patih Dalam tak kebagian kursi. Ia berdiri saja di samping Kencana
Wungu. Sementara para ksatria duduk di bawah, bersesakan dan saling menutupi:
Layang Seta, Layang Kumitir, Menak Koncar, dan beberapa prajurit tanpa nama
alias bala depak yang senantiasa terdepak.
Panggung
sudah terlalu sempit untuk menampung tubuh-tubuh mereka. Negeri dalam keadaan
baik-baik saja, demikianlah yang kutangkap samar-samar dari percakapan mereka.
Rakyat hidup makmur kerta raharja. Tak kurang suatu apa. Mereka tampak gembira
dengan sandiwara itu. Bercakap-cakap diselingi canda dan tawa. Patih Logender
memamerkan kesaktian sepasang anaknya, Seta dan Kumitir. Hanya Adipati Tuban,
Ranggalawe, yang tak kelihatan batang hidungnya. Adipati paling sakti itu konon
sedang bertapa di rumahnya. Mungkin pula tak punya ongkos berangkat ke
Majapahit. Bisa saja.
Kulihat
ke belakang. Cukup banyak juga yang datang. Orang-orang yang sekadar lewat.
Atau sejumlah orang yang melayat. Kabar kematian kelompok ini memang sudah
disebar di koran-koran dan facebook. Seorang anak kecil yang duduk di
belakangku bertanya pada bapaknya. Itu apa? Ketoprak, jawab bapaknya.
Lalu Menak Jingga di samping panggung memukul kepraknya. Rupanya malam itu ia
merangkap sebagai dalang sekaligus tukang keprak. Bunyi keprak itu membangunkan
Angkat Buta yang sejak awal tiduran di belakang gamelan.
Ia pun bergegas masuk ke dalam panggung untuk
menyampaikan pesan junjungannya, Menak Jingga. Si Adipati buruk rupa itu
menagih janji sang Ratu Ayu. Dulu semasa ia masih bernama Jaka Umbaran yang
berwajah tampan ia pernah dijanjikan untuk mendapatkan Kencana Wungu jika
berhasil mengalahkan Kebo Marcuet, pemberontak yang sakti mandraguna. Sang
pemberontak berhasil dikalahkan, tapi Jaka Umbaran terpaksa pulang dengan wajah
dan tubuh babak belur. Jika tak ada Dayun yang menolong mungkin ia sudah lama
mati.
Rarasati
merobek-robek surat itu. Layang Seta dan Layang Kumitir tanpa perintah selain
karena pongah menghajar utusan dari Blambangan itu. Angkat Buta berlari ke
alun-alun. Angkat Buta selalu menantinya di sana selama bertahun-tahun. Perang
tak terhindarkan. Gantian para bala dupak mendapatkan ruang. Dengan gagah
berani mereka berperang. Melakukan adegan-adegan berbahaya. Beberapa kali
mereka terlontar ke luar panggung. Terkapar di tanah lapang lalu dengan cepat
bangun lagi mengejar sang lawan. Ada juga prajurit yang kedua tangannya
buntung. Ialah yang paling kerap terlontar keluar panggung. Penonton terbahak
dan bersorak meski adegan perkelahian ini sama sekali tak menawan.
Ada
pula yang malah jatuh kasihan. Bisa ditebak, mereka telah mengulanginya beratus
kali, Layang Seta dan Layang Kumitir kalah. Logender menolongnya dan membiarkan
utusan-utusan Blambangan itu pulang.
Di
Lumajang enam perempuan menari-nari. Menari sejadi-jadinya.
Mas
mas mas aja dipleroki (Mas mas mas jangan dipelototin)
Mas
mas mas aja dipoyoki (Mas mas mas jangan digodain)
Karepku
njaluk diesemi 2 (Pinginnya minta disenyumin)
Ruang
pecah berkeping-keping. Mereka menyebar ke segenap penjuru membawa piring.
Mendatangi penonton satu per satu, menjual cendera mata: gantungan kunci bertuliskan
Ketoprak is the place where we live and where we die… berlatar orang
sendirian mendirikan atap tobong di langit yang biru cerah. Mereka terus
beredar dalam kegelapan. Ada pula yang membawa bonang dan meminta uang. Lagu
berlanjut. Apa saja yang penting berirama dangdut. Beberapa penonton naik ke
panggung dan bergoyang. Lalu lampu tiba-tiba mati.
Gamelan
terus dibunyikan. Lagu terus dinyanyikan. Beberapa orang tampak sibuk mencari
kesalahan. Menyusuri kabel demi kabel. Memeriksa bensin di dalam generator.
Berkali-kali mereka pernah mengalaminya, mengulang kesalahan-kesalahan yang
sama. Berkali-kali mereka ngebut di jalanan masih dengan pakaian wayang untuk
membeli bensin agar pertunjukan tetap bisa dilanjutkan. Alhamdulillah, lampu
mati tak lama. Lampu yang semenjana itu menyala kembali. Perempuan-perempuan
itu sudah kembali ke panggung dan menjadi istri-istri dari Adipati Menak
Koncar. Lalu adegan domestik di tengah lapangan, bocor-bocor tak karuan.
Percakapan yang lamat-lamat itu terus berlangsung hingga Menak Jingga menabuh
keprak untuk menandai kedatangannya sendiri. Ia masuk ditemani Dayun, abdinya
yang setia.
Menak
Koncar menyambutnya dengan hangat meski tahu tak berapa lama lagi mereka akan
bertengkar dan ia akan kehilangan Mentarwati, istrinya yang pertama.
Pertengkaran dimulai ketika Menak Jingga meminta bantuan Menak Koncar untuk
mengawinkannya dengan Kencana Wungu. Menak Koncar meledak marah. Ia tak sanggup
membayangkan ratunya yang jelita bersanding dengan manusia buruk rupa.
Mentarwati bersedia mencarikan jodoh untuk Menak Jingga. Tapi Menak Jingga
keras kepala. Sambil menyembah-nyembah kaki Mentarwati, Menak Jingga terus
menyebut-nyebut nama Kencana Wungu. Mentarwati sebal dan memukul kepala Menak
Jingga. Pertarungan kembali terjadi di atas panggung sempit itu.
Kali
ini yang tampil adalah prajurit-prajurit perempuan. Dengan gerak yang luar
biasa kikuk -jangan dibayangkan pertarungan antara Lasmini versus Mantili dalam
film Saur Sepuh- mereka saling pukul dan tusuk. Penonton yang jumlahnya
sudah jauh berkurang kembali terbangun. Bertepuk tangan menyemangati
pertempuran prajurit Lumajang dan Blambangan.
Pertempuran
itu berakhir dengan tewasnya Mentarwati. Menak Jingga menusuk tubuh perempuan
itu berali-kali dengan kerisnya. Menak Koncar datang terlambat. Ia hanya
mendapati tubuh istrinya yang dingin dan berlumuran darah. Ia menangis dan
pelan-pelan mengangkat tubuh istrinya. Adegan yang direncanakan dramatis itu
hancur berantakan. Menak Koncar ternyata tak kuat membopong tubuh perempuan itu.
Makan nasi sehari sekali dengan selingan mie instan ternyata membuat Adipati
Lumajang itu kekurangan tenaga. Tak ada yang datang membantunya. Penonton
kembali bersorak. Mereka menyemangati Menak Koncar dengan tepuk tangan.
Akhirnya
dengan susah payah, juga didorong rasa malu, ia berhasil membawa istrinya
keluar panggung. Dan buru-buru dijatuhkannya begitu sampai di tepian
panggung.Lalu lagu gembira mencoba membangkitkan suasana. Gending Badutan
Sragen: Rewel. Omonga terus terang yen pancen kowe bosen. Ora perlu
kakehan alasan… (Bicaralah terus terang jika kamu bosan. Tidak perlu banyak
alasan…)
Seorang
pelawak masuk ke panggung dan menari sekenanya. Ia pelawak karena kumisnya
mirip Hitler. Entah sejak kapan pelawak-pelawak kita memakai kumis macam itu.
Mungkin sejak mereka menonton Charlie Chaplin.
Mungkin
pula suatu kali seorang pelawak pendahulu secara tak sengaja mengusapkan jelaga
di atas bibirnya. Lalu dua kawannya datang menyusul. Penonton menanti kelucuan
apa yang akan mereka munculkan. Tapi tak ada. Mereka sudah terlalu lelah untuk
mencari bahan lawakan. Mereka hanya bercanda tentang lapar. Mereka pura-pura
makan sampai kenyang. Mereka memesan makanan-makanan terenak yang mereka
impikan. Dua bungkus rokok dilemparkan kepada mereka. Seorang pelawak pun turun
ke panggung, memungutnya. Ia melempar satu bungkus ke arah para penabuh
gamelan.
Di
tengah mereka berkhayal makan sate kambing datang seorang penonton memberi
amplop. Minta lagu Prau Layar, katanya. Amplop itu pun dibuka. Berisi
duit yang langsung mereka hitung satu per satu. Lembaran-lembaran uang
berwarna merah itu berjumlah tujuh lembar. Semua orang bertepuk tangan. Mungkin
itu adalah saweran paling banyak yang pernah mereka dapatkan. Sayang
mereka mendapatkannya di pertunjukan terakhirnya.
Malam
ini mungkin mereka akan mendapat lebih dari 2.000 rupiah per orang, tidak
seperti malam-malam biasanya. Mereka memanggil juragan mereka naik ke atas
panggung. Sang juragan, lekaki berkaos hitam yang tadi membuka acara
mengucapkan terima kasih atas bentuk simpati tersebut. Dan ia pun menyanyikan Caping
Gunung karya maestro keroncong Gesang yang baru saja meninggal dunia. Para
pelawak mengingatkan bahwa mereka seharusnya menyanyi Prau Layar. Tapi
lelaki itu mungkin tak mendengarnya. Ia menyanyi Caping Gunung.
Ia
meminta para pelawak menari. Tapi tak ada yang menari. Setelah lagu selesai
kembali ia mengulang kata pamitnya. Malam ini kami pamit mati. Seperti syair
sebuah lagu, katanya.
Lilanana
pamit mulih… (Relakanlah aku pamit pulang…)
Lilanana
pamit mulih (Relakan aku pamit)
Pesti
kula yen dudu jodhone (Aku memang bukan jodohmu)
Muga
enggal antuk sulih (Semoga segera mendapat ganti)
Wong
sing bisa ngladeni slirane (Orang yang bisa mendampingimu)
Pancen
abor jroning ati (Memang berat rasanya)
Ninggal
ndika wong sing ndak tresnani (Meninggalkan orang yang
kucintai)
Nanging
badhe kados pundi (Tapi mau bagaimana lagi)
Yen
kawula saderma nglampahi3 (Aku cuma sekadar melakoni)
Lelaki
itu kemudian memanggil seorang tamu yang datang dari Jakarta. Seorang aktivis
perempuan yang cantik. Ia meminta perempuan itu menyampaikan orasinya. Sang
perempuan dengan berapi-api mengutuk kematian-kematian seni tradisi. Ia
menyalahkan masyarakat yang tak lagi menghargainya. Ia menyalahkan pemerintah
yang tak pernah merawatnya. Ia menyalahkan organ dangdut yang mematikan sawah
para seniman tradisi. Lalu ia turun dan pertunjukan kembali berlangsung.
Malam
sudah larut. Sebagian besar penonton sudah pulang. Sudah larut malam pula di
Kadipaten Tuban. Sang Adipati Ranggalawe tengah bercakap-cakap dengan istrinya.
Ia merisaukan keadaan Majapahit yang tak lagi tentram. Percakapan tampak
dipercepat. Mungkin karena penonton yang semakin sedikit. Ranggalawe buru-buru
ke sanggar pamujan. Berdoa dan membakar kemenyan. Ia bersila
membelakangi penonton. Sebuah tembang palaran mengalun keras dari
mulutnya. Menak Koncar datang menemuinya.
Melaporkan kebrutalan Menak Jingga yang makin
menjadi-jadi. Menak Koncar menangisi kematian istrinya, menangisi Lumajang yang
sudah berada di genggaman Menak Jingga. Bergetar dada Ranggalawe mendengar
tangisan Menak Koncar, kemenakannya. Segera ia memanggil Wangsapati ajudannya.
”Ambil Payung Tunggul Naga, malam ini aku akan berangkat ke Lumajang!”
Adegan
pertemuan Ranggalawe dan Menak Jingga segera disusun. Menak Jingga menyambut
kedatangan Ranggalawe dengan baik. Ia menghaturkan hormat pada orang yang
paling disegani di Majapahit itu. Ranggalawe dengan tenang mendengarkan kisah
Menak Jingga.
Ia
bisa mengerti perasaan Menak Jingga yang kecewa karena ditolak oleh Ratu
Kencana Wungu. Dalam hal ini ia menyalahkan Kencana Wungu yang mengingkari
janjinya.
Tapi ia juga mengutuk Menak Jingga yang telah
membuat huru-hara di Majapahit. Maka, dengan segala hormat ia minta Menak
Jingga menghentikan pemberontakannya. Menak Jingga menggelengkan kepalanya. Ia
meminta maaf tak bisa menghentikan semuanya. Maka keduanya pun berhadapan.
Tak
ada yang bisa menandingi kesaktian Ranggalawe selama Payung Tunggul Naga tetap
memayunginya. Menak Jingga yang terdesak segera menghujani Wangsapati si
pembawa payung dengan panahnya. Pengawal nahas itu pun terjungkal dengan
beberapa anak panah menancap di tubuhnya. Ranggalawe terus maju. Ia tak peduli
dengan apa-apa lagi. Kematian Wangsapati begitu melukai hatinya. Dengan cepat
ia berhasil menangkap Menak Jingga. Ia injak kepala adipati yang berwarna merah
itu. Menak Jingga tak bisa bergerak sama sekali. Ia bahkan harus merelakan Gada
Wesi Kuning andalannya direbut oleh Ranggalawe.
Tetapi
saat Ranggalawe mengangkat gada itu tiba-tiba tubuhnya kaku. Ia mati. Tubuhnya
tanpa Payung Tunggul Naga adalah tubuh paling lemah yang pernah ada. Ia
kehilangan nyawa karena mengangkat Gada Wesi Kuning. Bidadari-bidadari dengan
rambut panjang terurai segera berlari mengelilinginya. Menak Jingga memerintahkan
agar tubuh pahlawan itu dibawa pulang ke Blambangan. ”Makamkan ia dengan
upacara kehormatan!”
Pertunjukan
selesai. Pertunjukan terkahir mereka. Dengan cepat mereka mengemasi
barang-barangnya dan pulang. Aku juga. Malam menunjuk pukul 12 tepat. Di jalan
aku berpapasan lagi dengan mereka. Ranggalawe berjalan sendirian lengkap dengan
pakaian kebesarannya. Beberapa pemain lain menyusul di belakangnya. Aku tak
tahu ke mana mereka akan pulang malam ini. Tobong yang sudah 10 tahun mereka diami
telah mengusir mereka.
0 komentar:
Posting Komentar